Keajaiban Inkubator Gratis – Majalah Energia (Pertamina)

Keajaiban Inkubator Gratis |

KEAJAIBAN datang dari ruang sempit, yang hanya muat dua meja kerja, tersembunyi di lorong gedung Fakultas Teknik Universitas Indonesia. “Di ruangan ini Tuhan menjawab doa saya,” ujar Yanuar Firmasnyah.

Keajaiban Inkubator Gratis

KEAJAIBAN tak datang dari Rumah Sakit mewah ataupun gedung parlemen, tempat para wakil rakyat berkantor. Bukan pula dari Kantor Kementerian Sosial atau Kementerian Kesehatan. Tapi dari ruang sempit, yang hanya muat dua meja kerja, tersembunyi di lorong gedung di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. “Di ruangan ini Tuhan menjawab doa saya,” ujar Yanuar Firmasnyah.

Dari Bandung, di penghujung Mei lalu itu, pria itu datang ke situ dengan doa dan harapan: menyelamatkan nya wa anaknya dan hidupnya. Dia hampir putus asa ketika biaya rumah sakit sudah mencapai 60 juta. Istrinya melahirkan bayi bayi Adlena Alexis dan Asdlan Altamis. Karena beratnya di bawah normal, kedua anaknya harus dirawat dengan dimasukkan ke dalam inkubator. Setelah tiga minggu, hanya yang sulung yang boleh pulang. Se mentara adiknya belum. Untuk mem bayar rumah sakit, Firmasyah menjual apa saja, termasuk sepeda motor. “Saya tak punya apa-apa lagi ka lau terus di rumah sakit. Harus dibayar dengan apa?”

Di puncak kebingungan, seorang koleganya mengabarkan tentang peminjaman inkubator gratis. Secercah harapan menyembul. Untuk lebih meyakinkan dirinya, dia browsing di internet tentang khabar tersebut. Prosedurnya tak rumit tak seperti datang ke rumah sakit yang minta ini dan itu. “SMS saya langsung direspon. Saya disuruh datang,” katanya. Benar saja semuanya, free tak ada biaya sepeser pun.

Dengan inkubator pinjaman itu, Firmansyah dan istrinya memulihkan kesehatan bayinya. Setelah pulih, Firmansyah bingung bagaimana mengembalikan alat tersebut. Dia tahu alat itu dibutuhkan banyak orang. “Saya tak punya uang untuk sewa kendaraan”. Dia kemudian mengutarakan kesulitannya kepada pemilik inkubator gratis tersebut. Jawaban yang diterimanya membuatnya mencucurkan air mata. Untuk kesekian kalinya, kebaikan terulur ke tangannya. “Dia tanya nomor rek saya, lalu mentransfer uang untuk sewa kendaraan,” ujar Firmansyah terbata-bata mengisahkan kisah yang dialaminya beberapa bulan lalu. “Subhanallah sungguh beliau itu berhati malaikat”.

Dewa penolong yang disebut Firmansyah itu adalah Prof Raldi Artono Kostoer, maha guru Teknik Universitas Indonesia. Dialah pencipta inkubator gratis. Saat disampaikan pujian bahwa dia berhati malaikat, Raldi terdiam, kemudian menjawab dengan nada datar. “Saya bersyukur, diberi kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi sesama,” ujar laki-laki yang membahasakan dirinya sebagai bapak angkat bayi prematur tersebut.

Dari ruang sempit itu, dia kerap menyaksikan keajaiban. Pernah suatu kali, dia ditelpon keluarga muda yang membutuhkan inkubator bayi untuk anak kembar. Meski sudah dibilang bahwa alatnya sedang dipinjam, keluarga itu tetap datang ke ruangannya. Mereka berharap peminjam mengem balikan alatnya hari itu. Dari sudut logika, harapan ini rada musykil. Dari 27 alat inkubator, hanya dua yang khusus untuk kembar. Keduanya dipinjam orang di luar Jakarta. Dengan mata berlinang, keluarga itu duduk menunggu. Tangan Tuhan pun terulur. Doa dan air mata keluarga muda itu terjawab. Benar saja, hari itu ada yang mengembalikan alat inkubator untuk bayi kembar.

Dari cerita para peminjam yang sudah mencapai 150 lebih itu, Raldi menjadi tahu betapa mahalnya ongkos rumah sakit di Indonesia. Untuk sewa inkubator, pasen di-charge Rp 500 ribu per hari, belum ongkos dokter, dll. “Untuk kasus bayi prematur, negara sepertinya absen,” ujarnya.

Dia pun meniatkan untuk mendedikasikan sisa hidupnya kepada kegiatan peminjaman inkubator gratis. “Ini pekerjaan utama saya. Ngajar sekarang hanya sampingan saja,” ujarnya. Waktunya emang tersita untuk kegiatan ini. Dia dengan tela ten menanya perkembangan kesehatan si bayi, terutama perkembangan berat badannya. Jika ada yang bermasalah, segera dikonsultasikan kepada dokter.

Tanpa membedakan kaya miskin, siapa pun boleh meminjam alatnya. “Emangnya bayi ada yang minta untuk dilahirkan kaya atau miskin?” tanya Raldi. Pertimbangan ekonomi hanya dipakai kalau ada peminjam bersamaan waktunya. “Keluarga yang kurang mampu kita prioritaskan,” Raldi menegaskan.

Ia menyebutkan selama layanan peminjaman gratis tersebut, belum mendapat complain. Semuanya berakhir dengan senyum. “Saat memulai, ada kolega yang mengingatkan siap siap masuk penjara kalau ada bayi meninggal karena memakai alatnya,” ujar Raldi. Toh, ia tak gentar. Semuanya dikembalikan kepada Yang Maha Kuasa. Ia yakin, karena niatnya baik, Allah akan membantunya. “Alhamdulillah, sampai sekarang belum ada kejadian seperti yang ditakutkan kolega saya itu,” ujarnya.

Kegiatan kemanusiaan ini malah berkembang. Alat yang tadinya hanya dua buah, kini sudah menjadi 27, dua diantaranya khusus untuk anak kembar. “Banyak donatur yang menyumbang,” ujarnya. Perkembangan ini ditolong inkubator ciptaan Raldi yang berbiaya murah. Boleh jadi yang paling murah di dunia. Satu unit hanya butuh Rp 2,5 juta.

Sangat jauh dengan yang beredar di luar yang harganya bisa mencapai puluhan juta, apalagi produk impor, Menurut Raldi produk impor sebetulnya tak cocok dengan kondisi Indonesia. Inkubator impor, didesain untuk bisa dipakai saat musim dingin sehingga membutuhkan watt yang besar untuk menaikkan suhu ruangan inkubator, sekitar 450-600 watt.

’’Kalau dipakai di Indonesia, percuma. Tentu akan boros listrik,” paparnya.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan, untuk penghangat yang dibutuhkan bayi bisa digunakan lampur pijar berkekuatan 15 watt.

Desain inkubator impor pun sangat kaku, karena bentuknya tak portable sehingga tak mudah dipindahkan ke sana-kemari. Sementara ciptaan Raldi tanpa kaki. Material yang digunakan pun dipilih acrylic yang ringan. Total berat yang inkubator hanya 13 kg. “Ini inkubator teringan di dunia,” ujarnya.

Dengan hanya 2,5 juta banyak pihak yang tertarik bekerjsama, terutama RS. “Tapi banyak yang tak bisa jawab ketika saya tanya berapa yang akan di-charge ke pasien,” ujarnya. Banyak juga perusahaan yang menawarkan bantuan dengan nominal fantastis. “Tapi mereka minta kami membuat proposal,” ujar Raldi. Permintaan ini tak bisa dipenuhi. Dalam pemikiran Raldi, bukan pihaknya yang membutuhkan bantuan. “Yang mau kan mereka. Harusnya mereka dong yang kirim proposal,” ujarnya. Bagi Raldi, jika itu dilaksanakan akan mengotori niat yang dari awal memang mau menolong. “ Ujung-ujungnya mereka minta ada logo perusahaan. Bagi saya itu sudah pamrih,” ujar Raldi.

Ia pun tak berniat mematenkan temuannya. “Silakan aja kalau ada yang tertarik buat. Lebih banyak yang bisa dipinjamkan kan bagus,” ujarnya. Ia juga tak akan menunut kalau ciptaanya dibajak untuk kepentingan komersial. “Kalau motifnya hanya ingin untung banyak, ada tangan tak terlihat yang akan menghukumnya,” ujar Raldi.

Raldi sudah lama meneliti inkubator, bahkan pada 2005. Bersama rekanrekan dan mantan mahasiswanya kemudian mengomersialkan karya inovatifnya itu dengan memproduksinya secara massal. Mereka memanfaatkan ruang kosong di kantor Badan Peng kajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk usahanya tersebut.

Dia mengatakan sempat mena warkan tabung inkubator ke sejumlah rumah sakit di Jakarta. Waktu itu tabung kreasinya bisa bersaing dengan produk impor. Inkubatornya lebih hemat energi daripada inkubator buatan luar negeri (Jepang atau Korea).

Di dua negara itu, inkubator disetting untuk kondisi suhu ruang yang sangat dingin. Dengan demikian, di dalamnya dipasangi alat penghangat (heater) berkekuatan besar yang mengonsumsi listrik hingga 400-500 watt. Sementara itu, inkubator karya Raldi waktu itu hanya ditanami mesin penghangat yang membutuhkan tenaga listrik sekitar 160 watt. Listrik pun lebih hemat. Model pemasarannya sukses. Tabung inkubator karya Raldi lumayan laris. Hingga akhirnya small company bentukan Raldi dan rekan-rekannya itu diakuisisi pihak lain. Tetapi bukannya tambah maju, pamor perusahaan tersebut makin lama makin surut. Bahkan setelah berhasil memproduksi inkubator yang ke-100, perusahaan itu bangkrut, kemudian ditutup.

’’Biasa, ketika uangnya sedikit, kompak. Tetapi begitu uangnya banyak, jadi rebutan,” ujarnya lantas tertawa.

Setelah gagal menjajal bisnis praktis, Raldi kembali ke ’’jalur” sesuai dengan hatinya. Yakni membuat inkubator yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas. Dimulai saat dia mengerjakan proyek bertajuk Indonesia Managing Higher Education for Relevancy & Efficiency (IMHERE) dari Ditjen Pendi dikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2010.

Raldi bersama sejumlah teman membuat tiga inkubator ’’murah” untuk rumah sakit kecil di Kota Depok, Jawa Barat. Dia juga membuatkan sebuah inkubator untuk Puskesmas Bojongsari, Kota Depok. Setelah menyumbangkan tabung inkubator ke rumah sakit dan Puskesmas, dia terus mengembangkan karyanya.

Sejak 2012, dia mulai proyek inkubator gratis. Saat itu alat yang dipinjamkan belum sesimpel sekarang. Masih tak portable. Karena materialnya banyak menggunakan besi, inkubator pun jadi berat. Alat pun susah digotong ke sana kemari, apalagi kalau harus masuk gang sempit. Raldi pun terus menyempurnakan desainnya, sampai terciptalah inkubator yang berbiaya murah, ringan, mudah dipindahkan seperti sekarang. “Semua nya lancar. Saya yakin dengan niat baik, Allah akan memberikan pertolongan,” ujar Raldi. Dari situ pula, mengalir keajaiban.

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Keajaiban Inkubator Gratis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *