Selamatkan Seratus Bayi Prematur di Rumah-Rumah – Radar Sukabumi

Selamatkan Seratus Bayi Prematur |

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Buah karya Prof Raldi Artono Koestoer sudah menyelamatkan sedikitnya seratus nyawa bayi prematur. Melalui inkubator buatannya, bayi-bayi yang lahir sebelum waktunya dari keluarga miskin tertolong.

LAPORAN: M. HILMI SETIAWAN, Jakarta.

RUANG kerja guru besar bidang ilmu perpindahan kalor Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) itu tak begitu luas. Hanya cukup untuk menampung dua unit meja kerja, sejumlah lemari buku, dan seperangkat tabung inkubator bayi. Tetapi, di ruang itulah sebuah karya bermanfaat besar bagi masyarakat Indonesia dilahirkan.

Saat ditemui di ruang kerjanya Kamis (6/2), Prof Raldi Artono Koestoer sedang memeriksa perangkat inkubator karyanya. Mesin penghangat untuk bayi prematur itu akan ditempatkan di puskesmas atau rumah sakit yang membutuhkan. Tampilannya memang sudah agak kusam karena sudah dirakit pada 2004.

“Sudah lama dipajang di pameran-pameran. Jadi, ada yang perlu diperbaiki,” kata alumnus Universite Paris-Est Creteil Val de Marne, Prancis, 1985, itu.

Teknologi inkubator ciptaan Raldi bisa dibilang sederhana. Namun, fungsinya tetap maksimal. Inkubator berukuran besar tersebut mampu menghasilkan panas di dalam tabung hingga 37 derajat Celsius. Suhu itu dibutuhkan bayi prematur untuk menyesuaikan dengan suhu di dalam kandungan sang ibu. Untuk berjaga-jaga bila suhu meningkat drastis, Raldi melengkapi alatnya dengan kipas otomatis.

Setelah berhasil membuat inkubator sendiri pada 2005, Raldi bersama rekan-rekan dan mantan mahasiswanya kemudian mengomersialkan karya inovatifnya itu dengan memproduksinya secara masal. Mereka memanfaatkan ruang kosong di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk usahanya tersebut.

Dia mengatakan sempat menawarkan tabung inkubator ke sejumlah rumah sakit di Jakarta. Waktu itu harga tabung inkubator di pasaran berkisar Rp 20 juta hingga Rp 75 juta per unit. “Perbedaan harga itu karena ada sejumlah fasilitas tambahan,” katanya.

Meskipun baru merintis di industri tabung inkubator bayi, Raldi dan timnya memiliki jurus jitu dalam memasarkannya. Mereka berani promo bahwa inkubatornya lebih hemat energi daripada inkubator buatan luar negeri (Jepang atau Korea).

Di dua negara itu, inkubator di-setting untuk kondisi suhu ruang yang sangat dingin. Dengan demikian, di dalamnya dipasangi alat penghangat (heater) berkekuatan besar yang mengonsumsi listrik hingga 400 – 500 watt.

“Kalau dipakai di Indonesia, percuma. Tentu akan boros listrik,” papar dia.

Sementara itu, inkubator karya Raldi waktu itu hanya ditanami mesin penghangat yang membutuhkan tenaga listrik sekitar 160 watt. Listrik pun lebih hemat.

Model pemasarannya sukses. Tabung inkubator karya Raldi lumayan laris. Hingga akhirnya small company bentukan Raldi dan rekan-rekannya itu diakuisisi pihak lain. Tapi, bukannya tambah maju, pamor perusahaan tersebut makin lama makin surut. Bahkan, setelah berhasil memproduksi inkubator yang ke-100, perusahaan itu bangkrut, kemudian ditutup.

“Biasa, ketika uangnya sedikit, kompak. Tetapi, begitu uangnya banyak, jadi rebutan,” ujarnya, lantas tertawa.

Setelah gagal menjajal bisnis praktis, Raldi kembali ke “jalur” sesuai dengan hatinya. Yakni, membuat inkubator yang bisa dimanfaatkan masyarakat luas. Dimulai saat dia mengerjakan proyek bertajuk Indonesia Managing Higher Education for Relevancy & Efficiency (IMHERE) dari Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2010.

Di momentum itu Raldi bersama sejumlah teman membuat tiga inkubator “murah” untuk rumah sakit kecil di Kota Depok, Jawa Barat. Dia juga membuatkan sebuah inkubator untuk Puskesmas Bojongsari, Kota Depok.

Kiprah Raldi belum berhenti sampai di situ. Setelah menyumbangkan tabung inkubator ke rumah sakit dan puskesmas, dia terus mengembangkan karyanya. Kali ini dia menciptakan inkubator yang lebih simpel karena ditujukan untuk rumahan. “Maksudnya agar bisa digunakan warga yang kurang mampu,” tuturnya.

Gagasan tersebut muncul setelah Raldi mendengar cerita rekannya. Ketika itu bayi rekannya baru saja dirawat di NICU (neonatal intensive care unit). Tarif rawat inap di NICU cukup “mahal”. Mulai Rp 500 ribu hingga Rp 8 juta per hari.

“Bayangkan kalau yang sakit bayi dari keluarga miskin. Jual motor saja belum tentu cukup untuk biaya pengobatan,” kata pria yang mendapat gelar insinyur di FT UI pada 1978 itu.

Dia tidak bisa membayangkan tabung inkubator berukuran besar yang biasa dipakai di rumah sakit harus dibawa ke rumah warga yang kurang mampu. Selain berat, tabung inkubator itu memiliki dudukan beroda yang tidak tahan guncangan jika melewati jalan kecil bergelombang. Kemudian, listrik rumah warga yang rata-rata 450 watt bisa tersedot habis hanya untuk menyuplai tabung itu.

Akhirnya, setelah dilakukan uji coba berkali-kali, jadilah tabung inkubator khusus untuk rumahan itu. Sampai saat ini Raldi bersama timnya sudah membuat sebelas unit tabung inkubator rumahan untuk dipinjamkan secara cuma-cuma kepada keluarga kurang mampu.

Perinciannya, 2 unit dipinjamkan di Pemalang, 1 unit di Magelang dan Semarang, sisanya di Depok dan sekitarnya.

“Inkubator pinjaman itu tidak boleh dikomersialkan. Pokoknya untuk warga yang kurang mampu,” jelasnya.

Tabung inkubator bayi untuk kalangan rumahan tersebut dibikin dengan biaya Rp 2,5 juta per unit. Material utamanya bukan dari kaca, tetapi akrilik. Sebab, bahan kaca bisa membahayakan bayi. Kemudian, ukuran dimensi tabungnya 66 x 45 x 45 cm. Di bagian bawah dipasangi bola lampu 40 watt.

Raldi menegaskan belum punya rencana untuk mematenkan karyanya itu. Dia bahkan mempersilakan masyarakat yang bermaksud berguru kepadanya untuk membuat alat serupa. Tetapi, dia meminta agar inkubator tersebut tetap bisa menjalankan misinya untuk membatu masyarakat miskin.

Sistem pinjam pakai tabung inkubator bayi rumahan itu dimulai pada Januari 2012. Hingga saat ini Raldi mencatat setidaknya sudah ada seratus bayi prematur dari keluarga miskin yang bisa diselamatkan setelah memanfaatkan mesin inkubator karyanya.

“Dengan cara pinjam pakai itu, si ibu bisa tetap mendampingi bayinya di rumah. Berbeda jika anaknya dirawat di NICU, pasti membutuhkan biaya banyak dan si ibu tidak bisa setiap saat bersama bayinya. Apalagi, kedekatan antara ibu dan bayi bisa membuat bayi cepat sehat meskipun terlahir prematur,” tandas Raldi.

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Selamatkan Seratus Bayi Prematur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *