Lestari Peduli, Sebuah Pengabdian

Lestari Peduli, Sebuah Pengabdian

Lestari Peduli, Sebuah Pengabdian

Lestari Peduli, Sebuah Pengabdian

Bermula dari email yang saya terima, akhirnya dua hari lalu (23/2/2017) kami berkunjung ke RSIA Lestari di Cirendeu, Tangerang Selatan. Kali ini datang dari seorang wanita tua. Namanya Ibu Titi. Jujur, saya sudah lupa wajahnya. Tapi waktu kecil saya pernah melihat “mbak Titi” di suatu tempat, entah saya berbicara dengannya atau tidak, saya sudah lupa. Dan rasanya kami pernah bertemu (lagi) di akhir tahun 90-an. Akhirnya saya jadi ingat tinggalnya di sebelah Hotel Indonesia.

Kini usia Ibu Titi sudah kepala tujuh. Beda satu dekade dengan saya. Namun semangatnya membuat saya malu. Ya. Ia sudah berhasil melakukan pemberdayaan masyarakat. Membuat pemulung yang tadinya berpendapatan tak menentu dan menjalani hidup tidak sehat, sekarang berpenghasilan tetap. Sangat tersentuh saya mendengarnya.

Jadilah pagi itu kami semua berangkat: saya, Rehan (manager teknis), dan Pak Gatot (manager transportasi). Satu jam lamanya kami menempuh perjalanan menuju Cirendeu: melewati jalan belakang Cinere yang sudah sangat Pak Gatot kuasai. Sesampainya disana kami sudah di sambut ibu Titi.

Perjuangan

Lalu, ia bercerita tentang perjuangannya mendirikan rumah sakit ibu dan anak itu. Begini. Semua berawal ketika ia diberi secar cuma-cuma sebidang tanah oleh seorang warga Betawi. Dari situlah semangat gotong royong itu dibangun. Sebagian penghasilannya ia bayar untuk melunasi tanah tersebut, sebagian lagi untuknya. Sampai akhirnya suatu hari, setelah bertahun-tahun lamanya hutang itu pun lunas.

Ibu Titi ternyata sudah jauh melangkah. Betapa sibuknya ia membantu menolong sesama. Apalagi pesan sang ibu yang begitu membekas baginya hingga saat ini: “Kalau sudah punya penghasilan jangan cari kaya dari ‘Rumah Sakit’. Tolonglah mereka yang belum sejahtera.”

Itulah gotong royong sesungguhnya: menghidupkan kepedulian dalam semangat berbagi. Atmosfer kebangkitan yang seringkali kita jumpai dari anak-anak muda yang “terpanggil” jiwanya. Kisah ibu Titi yang saya sampaikan tadi bisa Anda saksikan lewat video di bawah ini. Dan ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin mengambil langkah untuk bertindak nyata: dari mereka yang bergerak di bidang kesehatan, hingga pelayanan masyarakat. Bahkan kaum awam sekali pun.

Inexpensive NICU

Lantas, terlintas dalam benak kami cita-cita untuk membuat “Inexpensive NICU” kelak di kemudian hari. Mengapa demikian? Dua atau tiga tahun lalu (saya lupa), menteri kesehatan pernah mengatakan bahwa investasi biaya NICU membutuhkan biaya antara Rp 1 s/d 2 milliar. Itu sebabnya kami ingin membuat biaya tadi menjadi hanya Rp 10 juta saja. Jadi perlunya kira-kira Rp 10 s/d 20 juta. Dan dampaknya akan luar biasa untuk sebangsa: menghidupkan kembali harapan keluarga bayi prematur.

Gotong royong sesungguhnya ialah menghidupkan kepedulian dalam semangat berbagi. Atmosfer kebangkitan seringkali kita jumpai dari anak-anak muda yang “terpanggil” jiwanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *