Tulisan ini dibuat jelang pertemuan kami dengan adik-adik serta para pendidik di sebuah universitas Kalimantan. Tepatnya di Balikpapan. Sudah terbiasa kami tiap kali melihat antusiasme publik yang begitu memuncak akan apa yang kami lakukan. Tetapi ada yang jauh lebih penting dari itu, yakni bagaimana mengkonversi energi positif tadi menjadi sebuah karya nyata. Efek tular tidak akan terjadi, bila kita tak kunjung berjalan, urung bergerak. Doing something. Dan akhirnya semangat pun menguap, dan berpusarlah kita dalam ketidakpastian yang kita buat sendiri. Itulah penyakit kita.
Komitmen
Baiklah. Sia-sia kita menghabiskan energi kalau hanya membahas hal demikian. Maka kami pun membuat sebuah komitmen. Jadi kami ingin membuktikan bahwa sebuah karya yang menyejahterakan lahir bukan karena terlihat hebat. Ia terbentuk dari perjalanan panjang yang menjamin kualitas, sehingga kemudian memperoleh reputasi dan kepercayaan. Kami pun telah menjalaninya selama lima tahun lebih. Beragam upaya juga telah kami lakukan demi mewujudkan semua itu. Kami melarang adanya aktivitas komersil dalam bentuk apa pun di kegiatan kami; juga pembiaran tak terpakainya inkubator gratis yang telah tersebar di banyak daerah serta pelosoknya.
Tak berhenti sampai disitu. Kami pun memberi batasan terhadap berbagai institusi dan perusahaan. Utamanya agar tidak merintangi tujuan awal kami: melayani kaum marginal. Salah satunya menolak pemasangan label mereka pada inkubator buatan kami. Mengapa begitu? Masalahnya kebanyakan kita mengira bahwa pencapaian dapat diperoleh dengan sekadar kerja cerdas saja. Cukup bekerjasama dengan institusi/perusahaan yang telah stabil. Padahal ini keliru. Termasuk di dalamnya soal asupan bayi. Hal demikian dapat membentuk cara berpikir yang salah dari kaum ibu bahwa susu formula lebih baik dari ASI. Yang benar justru sebaliknya. Jadilah kita gampang terperangkap mengikuti segala jalan pintas yang ada. Memang tampak berat.
Lagipula inovasi hanya terjadi ketika berada dalam tantangan dan menjalaninya dalam kegembiraan serta keceriaan. Terus berusaha mencari jalan. Intinya membangkitkan semangat kewirausahaan. Karena itulah kami mengajak para UKM berkolaborasi untuk kemudian kami bina. Agen relawan juga kami tuntut supaya punya inisiatif mencari para bayi Nusantara (prematur dan kuning) yang memerlukan pertolongan. Entrepreneurship diperoleh dalam kearifan lokal gotong royong serta berjalan seiring terus bermunculannya inovasi-inovasi baru.
Masyarakat Mandiri
Nyata kita saksikan hari ini bahwa kesadaran kolektif telah memberikan sebangsa sebuah kepastian membangun keutuhan tanpa beban masa lalu. Membuat kita membawa perjalanan sendiri menuju bangsa spektakuler. Ada agen relawan kami di Jonggol yang gemar mengadakan kegiatan-kegiatan sosial di daerah sekitarnya. Bahkan suami-istri ini menggratiskan peminjaman kursi roda. Donasi pun terus berdatangan. Juga komunitas Zona Bombong di Purwokerto yang menjadi mitra kami lewat program Si Bulan (Siaga Ambulans). Siapa pun yang sakit segera dijemput di tempat, lalu diantar ke layanan kesehatan yang ingin dituju.
Langkah serupa juga diambil oleh mitra kami di Aceh: Blood For Life Foundation (BFLF). Belakangan, yayasan ini telah berhasil membuat aplikasi pencari donor darah, Go-Blood. Anda bisa lihat liputannya yang tela ditayangkan CNN Indonesia beberapa waktu lalu. Tak lupa pelayanan prima dari seorang agen relawan kami serta keluarganya di Surabaya (sampai ke pulau Madura) dan penyedia bubur gratis di hari Jumat yang terinspirasi kegiatan kami di Yogyakarta. Ini berdampak sangat masif. Ya. Karena kita proaktif saling mengisi dan melengkapi satu dengan yang lain.
Jaringan yang ada kami manfaatkan guna menunjang pelaksanaan pemberdayaan. Baik kelengkapan sarana-prasarana produksi inkubator, pendekatan strategis terhadap pihak medis maupun non-medis, dan yang terpenting mengangkat warga pra-sejahtera dari keterpurukan. Kami ingin agar mereka yang jauh dari kata sejahtera tergugah bahwa mereka berhak mendapat persamaan dengan kaum berada dalam kualitas pelayanan kesehatan. Mereka pun juga kami ajak menyebarluaskan semangat berbagi dan saling menghidupi. Biar hidupnya tidak pedit (pelit dan kikir). Inilah ikatan persatuan yang menggambarkan Indonesia.
Tak luput perhatian kami akan peningkatan kesejahteraan. Kini kami tengah mengembangkan inkubator khusus untuk bayi kembar. Sudah berkali-kali kami meminjamkan inkubator untuk kembar dua maupun tiga. Tapi yang kami pinjamkan ialah masih hasil dari modifikasi inkubator besar skala rumah sakit yang dikhususkan untuk satu orang bayi saja. Dan masih ada lagi pengembangan yang kami lakukan: pembangkit mini khusus untuk menyalakan inkubator kala mati listrik. Kesadaran kami ini berawal kala melihat betapa sulitnya masyarakat daerah -dan pelosoknya- terjangkau oleh listrik PLN. Enam jam (kurang lebihnya) tanpa listrik harus mereka lewati. Bahkan ada yang lebih parah. Itu kami dapati ketika mengambil inkubator yang telah selesai di pakai minggu lalu ke Rancabungur. Pada kami, sang ibu berujar bahwa listrik di daerahnya mati setiap 8 – 10 jam. Itu masih di Jabodetabek. Lantas bagaimana dengan yang diluar Jawa? Bisa Anda bayangkan sendiri.
Itu sebabnya kami ingin agar inkubator bisa digunakan tanpa perlu bergantung suplai listrik. Setidaknya masih ada listrik ketika aliran di putus PLN. Kami pun tengah mengupayakannya agar bisa segera terealisasi dalam waktu dekat. Kerangka inti dan simulasi telah selesai. Tinggal real experiment di lapangan dengan alat sebenarnya sebelum masuk pada penerapan dan tahap lebih jauh berikutnya. Ah… Indahnya. Dari yang tadinya tragedi kini dapat kita ubah bersama menjadi kemudahan, ketersediaan, keproduktifan, kebahagiaan, dan hal bermakna lainnya. Demikian upaya kami mengamalkan ilmu menuju masyarakat mandiri.
Bakti
Berbakti dengan berkarya. Itulah motto kami. Benar. Bakti adalah keutamaan dari kegiatan kami. Manusia harus tinggal, tumbuh, dan mumpuninya membaktikan dirinya pada masyarakat. Kaum muda yang jadi pemeran utamanya. Dan kita harus berorientasi pada karya dan tindakan nyata. Dedikasi untuk berbakti hanya datang dari mereka yang sudah tidak memerlukan penjelasan diri (kedudukan, eksistensi, jabatan, dan seterusnya) dan memiliki hati, wisdom, serta keberanian yang kuat. Resikonya jelas: langsung berhadapan dengan unpleasant truth.
Sayangnya sebagian kita memilih mengikuti pepatah ini: “Orang jahat berani berbuat kejahatan. Orang baik TIDAK BERANI berbuat kebaikan.” Gamblang sekali nyali kita menghadapi ketidakpastian dunia ini. Banyak orang mengatakan itu sebagai konsekuensi, tapi sebenarnya lebih karena ketidaksiapan kita. Kita lebih suka mementingkan pendapat kita tentang kehidupan ketimbang bagaimana menjalani kehidupan itu sendiri. Tidak! Kalaupun tidak bisa membalikkan kalimat pertama pepatah diatas, kita bisa untuk kalimat keduanya. Berani berbuat kebaikan.
We are what we do, not what we say we will do. Kelak makin banyak akal menyelesaikan permasalahan di negara kita saat ini. Tapi perlu pengorbanan, lalu kegigihan untuk memperjuangkannya, dan waktu untuk mencapai keberhasilan itu. Jauh lebih baik daripada cuma gemar berwacana saja. Dan hal ini juga berlaku di tempat kami, dan kami pun membiasakan diri. Tidak boleh ada yang berakhir jadi wacana. Not on our watch. Mari asah dan pertajam kepedulian. Saatnya Jadi Bermakna!
Juan Karnadi
Digital dan Publikasi
Yayasan Bayi Prematur Indonesia
juan@inkubator-gratis.org