Julukan Bapak Bayi Prematur Indonesia disematkan kepada Raldi Artono Koestoer. Guru besar Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) itu menyelamatkan nyawa lebih dari 1.500 bayi prematur. Dia meminjamkan inkubator ke seluruh wilayah Indonesia secara gratis.
GITA NAWANGSARI
Mengenal Raldi Artono Koestoer yang Dapat Julukan Bapak Bayi Prematur Indonesia
SENYUM mengembang di wajah Raldi saat melihat inkubator buatannya di gedung Manufacturing Research Center (MRC) Fakultas Teknik UI. Sejumlah inkubator itu menyimpan cerita tentang kehidupan bayi-bayi di Indonesia. Inkubator buatan Raldi telah menyelamatkan nyawa banyak bayi.
Ruang MRC di lantai 6 menjadi tempat khusus bagi Raldi untuk menyimpan temuannya. Beberapa inkubator tertata rapi di atas meja. Di bagian bawah, boks-boks besar ditumpuk agar tidak mempersempit ruangan yang merupakan tempat kerjanya itu.
Inkubator di ruangan tersebut baru saja dipulangkan peminjam di wilayah Depok. Ya, seluruh inkubator buatan Raldi dipinjamkan kepada siapa pun yang membutuhkan secara cuma-cuma. Tangannya masih cekatan membersihkan sisa-sisa kotoran yang tertimbun di sela-sela inkubator. Dia juga mengecek kerusakan setelah peminjaman berakhir.
Raldi meminjamkan inkubator buatannya sejak lima tahun lalu. Bukan hanya yang tidak mampu, masyarakat berekonomi cukup pun bisa meminjaminya. Dia menyadari, biaya penyewaan inkubator di rumah sakit tidak murah.
Sudah Punya Relawan yang Tersebar di 52 Kota
Untuk peminjaman sehari, biaya yang dikeluarkan minimal Rp 2,5 juta. Padahal, inkubator disewa bukan hanya untuk satu dua hari. Inkubator digunakan sampai berat badan bayi normal, yaitu 2,5 kilogram. Waktu pemakainnya relatif antara satu sampai dua bulan.
Harga tersebut hanya mencakup penyewaan inkubator. Biasanya, di rumah sakit, ada alat medis lain yang dipasangkan pada bayi untuk menjaga stabilitas kesehatan. ’’Harganya menjadi sangat mahal. Jelas, bagi masyarakat tidak mampu, penyewaan di rumah sakit menjadi tidak mungkin,’’ kata profesor bidang teknik mesin itu.
Dengan kemampuan di bidang teknik, Raldi berusaha meminimalkan harga pembuatan inkubator. Di pasaran, harga inkubator yang biasa dibeli rumah sakit sekitar Rp 70 juta. Nah, sementara inkubator buatannya hanya memerlukan dana Rp 3,5 juta per unit. Untuk membuat inkubator, Raldi menggunakan akrilik, kayu, dan lampu sebagai komponen utama. Intinya, inkubator tersebut dapat menghasilkan suhu sesuai kebutuhan bayi prematur. Yaitu, 33–35 derajat Celsius.
Dalam membuat inkubator, Raldi memanfaatkan dua usaha kecil menengah (UKM). UKM pertama menangani akrilik. Satu UKM lagi memproduksi kayu. Meski memiliki penemuan yang murah dan efektif, dia tidak ingin mematenkannya. Baginya, ilmu didapat dari “Yang Maha Kuasa”. Dan itu harus dibagikan kepada sebanyak-banyaknya orang.
Saat ditemui Jawa Pos di ruang kerjanya, Raldi bercerita tentang berbagai pertentangan pernah didapatnya. Terutama rekan-rekannya di bidang kedokteran. Yang dipertentangkan, antara lain, cara kerja inkubator dan kemudahan saat digunakan. ’’Saya hanya bergumam mendengarnya. September 2015, kami mencatat, ada 1.500 peminjaman inkubator kepada kami,’’ kata pria 63 tahun tersebut dengan semringah.
Inkubator yang dibuat Raldi bisa dengan mudah. Orang tua atau keluarga bayi bisa langsung menghubungi lewat SMS Center. Setelah itu, dicarikan relawan yang paling dekat dengan lokasi peminjam. Inkubator pun langsung diantarkan. Yang tidak bisa dijangkau akan dibimbing melalui SMS Center.
Dalam menjalankan aksi sosial tersebut, Raldi tidak bergerak sendiri. Hadirlah relawan yang mau bergerak bersama untuk menyelamatkan nyawa bayi di Indonesia. Mereka datang dengan keinginan kuat memperbaiki masa depan. Sembari menunjukkan foto-foto lama saat ikut mengantarkan inkubator, Raldi dengan bangga menceritakan bahwa para relawan telah tersebar di 52 kota di Indonesia. Di antaranya, Aceh, Medan, Kalimantan, Palembang, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jawa Tengah menjadi titik kumpul relawan yang paling banyak.
Mereka berasal dari beragam kalangan: perorangan, keluarga, atau komunitas. Syarat untuk menjadi relawan adalah mengganti biaya pembuatan inkubator sebesar Rp 3,5 juta. Selain itu, ada syarat lain. Relawan setidaknya berusia 35 tahun dan harus memiliki kendaraan roda empat agar inkubator tidak rusak. Selain itu, ada baiknya memiliki managemen transportasi yang terorganisir dengan baik: teman maupun komunitas yang bisa mereka percayakan untuk menjalankan amanah.
Memang tak mudah. Mereka harus siap mengantarkan dan mengambil inkubator dari rumah peminjam. Sebab, sasarannya bukan orang mampu sehingga tidak mungkin punya mobil untuk membawa inkubator. Ada satu relawan yang tinggal di Belanda. Namun, relawan tersebut memiliki adik yang tinggal di Indonesia. ’’Jadi, adiknya ditugasi mengantarkan. Semuanya bisa saling berkoordinasi selama niat membantu,’’ tambah Raldi.
Namun, memiliki relawan di 52 kota dirasa belum cukup. Menurut Raldi, setiap kota atau kabupaten harus punya minimal satu relawan. Tujuannya, memudahkan masyarakat yang ingin meminjam inkubator. Dia menargetkan, pada 2020, terkumpul relawan di 300 kota di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke.
Raldi menyadari, untuk memudahkan pengiriman, inkubator tidak bisa didesain besar sebagai mana umumnya. Dia beberapa kali memodifikasi inkubator untuk memudahkan pengiriman. Saat ini, modifikasinya sampai tipe G. Pada masa-masa awal, inkubator yang dibuat Raldi besar. Tingginya sampai sebahu. Untuk pengiriman dan penempatan di rumah tentulah tidak efisien.
Saat mengantarkan inkubator ke rumah peminjam, Raldi sulit memasukkannya ke mobil. Kala itu, komponen-komponennya tidak bisa dibongkar pasang. Masalah tidak selesai pada pengiriman. Setelah menurunkan inkubator dari mobil, mereka harus melewati gang-gang sempit untuk menuju rumah peminjam.
’’Belum lagi kamar mereka tidak cukup untuk menaruh inkubator yang sebesar itu. Dari sana, pelan-pelan, kami memodifikasi bentuknya. Hingga kini, ukurannya kecil dan portable sehingga mudah dibawa dan ditempatkan di mana saja di rumah,’’ terang Raldi.
Dengan banyaknya bayi yang tertolong berkat inkubator tersebut, sekarang tidak sedikit rumah sakit yang ingin bekerja sama dengan Raldi, namun dengan amanah harus menggratiskan biaya penyewaan inkubator, serta mengganti biaya pembuatan inkubator sebesar Rp 3,5 juta.
Mendengar itu, banyak rumah sakit yang menolak. Namun, ada tiga rumah sakit yang setuju. Ketiganya memiliki visi yang sama dengan Raldi. ’’Tugas kami adalah mengubah kesulitan menjadi kemudahan, mengubah tangis menjadi senyum bahagia,’’ katanya kemudian tertawa. (*/co1/ind)