Saya baru melahirkan anak pertama tanggal 11 Januari 2017. Bayi laki-laki dengan berat badan 2.9 kg dan panjang 50 cm melalui operasi caesar di rumah sakit HA. Sedih sekali karena tadinya berencana melahirkan normal di bidan terdekat: bidan Okke di Bumi Ambu. Namun saat bukaan keempat, detak jantung bayi turun naik. Akhirnya, ia merujuk ke rumah sakit HA dengan Dr. Anita. Setelah menempuh perjalanan dari Bumi Ambu, Gedebage ke HA dengan kondisi demikian serta kontraksi tiap lima menit sekali yang makin terasa.
Sampai juga di sana. Itu pun belum ada dokternya. Ternyata setelah di observasi saya harus caesar karena denyut jantung bayi semakin menurun. Tadinya ingin saya rujuk lagi ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung karena ruang NICU di rumah sakit penuh. Miris. Ingin menangis saya dalam ketidakpastian ini. Lalu Dr. Anita datang dan langsung membawa saya menuju ruang operasi.
“Sudah, tidak usah di rujuk dulu. Dikeluarkan saja bayinya. Sementara cari NICU di rumah sakit lain.”, tandasnya sesudah operasi. Tepat pukul 22:22, bayi saya lahir, dan suami saya sudah dapat ruang NICU tersisa satu-satunya di rumah sakit M1. Ingin memegangnya, tapi belum sempat, rasanya sudah ada batas sekat: belum diperbolehkan dokter anak (pernapasan masih lemah); bayi dibersihkan dulu sebelum dibawah ke rumah sakit M1; dan menjalani pemulihan di HA.
Betapa sedihnya saya, setelah suami kembali, mendapati mahalnya biaya Ventilator NICU di rumah sakit M1: Rp 5 juta per hari dan harus deposit Rp 10 juta. Itu pun masih tiga minggu lagi, karena saat coba di copot alat pompanya denyutnya turun menjadi 80; mengetahui sesudah suami mendatangi rumah sakit esoknya. Semakin genting!
Suami saya menangis, bingung bagaimana melunasi biaya rumah sakit bila harus selama itu. Sedangkan saya tidak bekerja dan suami hanya pekerja biasa dengan gaji Rp 6 juta per bulan saja. Dan asuransi kesehatan untuk bayi dari kantor baru bisa jadi dalam waktu satu bulan. BPJS pun akan butuh proses, sementara biaya rumah sakit terus membengkak. Hanya cemas yang ada.