Ini sebuah kisah nyata, tentang harga sebuah nyawa, dari seorang bayi mungil di sebuah desa. Ia anak pertama dari pasangan muda, lahirnya cukup bulan, dengan berat badan yang cukup pula. Sayangnya, si bayi yang lahir dengan operasi sesar ini keluar terkulai, tidak langsung menangis. Ketuban ibunya pecah sudah lebih dari 24 jam, dan katanya air ketuban sang Ibu berbau dan berwarna seperti lumpur.
Setelah dilakukan pertolongan pertama oleh dokter yang merawatnya, bayi ini lalu menangis tapi masih sesak. Memasuki usia dua hari, dirujuklah bayi ini ke rumah sakit tempat saya bekerja, sebuah rumah sakit kecil tipe D dengan peralatan seadanya. Untungnya kami masih punya sebuah alat bernama CPAP (continuous positive airway pressure), alat bantu napas dengan memanfaatkan tekanan dari udara yang memungkinkan masuknya suplai oksigen, sehingga membuat paru-paru bayi bisa tetap mengembang dan tidak kolaps. Harganya puluhan juta. Tapi punya satu saja rasanya sudah luar biasa karena bisa menyelamatkan satu nyawa. Oleh karena itulah maka sang bayi di rujuk ke rumah sakit kami.
Awalnya semua berjalan lancar, dengan si magic CPAP serta obat-obatan dan infus, sang bayi tidak mengalami perburukan meskipun belum membaik secara signifikan. Pada hari kelima perawatan setelah evaluasi, karena perkembangan pemulihannya masih dinilai kurang, diambil keputusan untuk mengganti antibiotiknya. Baru masuk sekali saja, tengah malam, sebuah pesan masuk ke ponsel saya dari perawat yang berjaga malam itu. Isinya pun agak mengkhawatirkan:
Dok, infus bayinya bengkak lo Dok, gimana ya, sudah dicoba berkali-kali belum bisa dapat lagi.
Celakanya, infeksinya cukup berat dan sang bayi belum bisa minum. “Sudah dicoba minum ASI tadi pagi Dok, baru 5 ml tapi muntah.”, tandas sang perawat tadi. Saya pun segera membalas pesan singkat itu dengan memberi saran sebagai berikut:
Mba, tadi kan sudah coba di skip minum ya dan habis itu ga muntah, coba diminumkan lagi ya mba, semoga ga muntah dan kita naikan minum cepat karena ga ada akses infus. Bismillah ya mba…
Saya khawatir jika diminumkan dan tetap muntah, sementara tidak ada akses cairan dan makanan yang masuk, bayi bisa mengalami syok dan seketika perburukan. Pagi harinya, akses vena kembali dicoba berkali-kali. Bahkan perawat yang paling jago menginfus di rumah sakit kami sampai ikut dikerahkan. Namun hingga siang hari tiba masih belum membuahkan hasil. “Sudah dapat tapi bengkak terus Dok. Sudah dapat tapi terus beku Dok.” Begitu kata mereka. Percakapan pun kemudian berlanjut:
Saya: “Wah jangan-jangan ada masalah pembekuan darah, coba cek laboratorium sekalian ya mba untuk periksa ada masalah pembekuan darah atau tidak. Trus, minumnya gimana Mba bisa ga ya?”
Perawat: “Ga bisa Dok, dikasih 5 ml muntah lagi.”
Saya: “Hmh..oke baiklah, coba konsul dokter bedah dan anastesi ya, kita minta pasang akses femoral atau vena sectie, sambil kita cari rujukan. Mau ga mau, bayi ini harus dirujuk sebelum mengalami perburukan karena kurang cairan.”
Sayangnya karena keterbatasan alat, kami harus tetap mencari rujukan meski berencana memasang akses vena besar di pembuluh darah paha (femoral) walaupun hanya untuk sementara. Sambil menunggu dokter anastesi mencari akses vena di paha, kami pun berjibaku mencari rujukan. Hasilnya? Satu, dua, tiga rumah sakit sekitar menolak. Percobaan keempat, kelima, keenam juga sama dengan alasan ruangan penuh.
Dalam keadaan demikian, saya hanya bisa bergumam dan berserah memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar femoral berhasil terpasang, sehingga tidak perlu lagi merujuk sang bayi. Ketika hasil laboratorium keluar, ternyata nilainya bagus semua. Kondisi membaik. Berarti sebetulnya bayi ini hanya butuh akses.
Namun lagi-lagi kabar buruk kembali terdengar,”Sudah 4 kali dapat Dok, tapi terus beku lagi.” Dan akses femoral pun gagal. Tanda vital bayi sejauh ini masih terbilang stabil, tapi perfusi mulai memburuk. Sudah begitu ujung jari tangan dan kaki mulai dingin. Seketika situasi menjadi genting.
Haruskah bayi yang sebetulnya mulai membaik ini menemui ajalnya hanya karena tidak mendapat akses vena dan rujukan? Masalahnya ini bayi cukup bulan dan besar, dan prognosisnya baik. Apakah harus menyia-nyiakan sebuah nyawa hanya gara-gara akses dan rujukan? Dan ini membuat saya jadi dongkol. Kepada sesama rekan medis, saya pun bersungut-sungut di grup WhatsApp:
Ampuun ya ini negara, gimana sih supporting systemnya, mau rujuk aja susahnya setengah mati. Ggrh..
Akan tetapi, saya masih ingat akan pesan guru saya sebelum melepas kami berangkat WKDS (Wajib Kerja Dokter Spesialis).
Mungkin kalian kesal karena harus ditempatkan di daerah, berpisah dari orang-orang tersayang, tapi percayalah kalau kalian tidak kerja di daerah, kalian tidak akan tahu kondisi yang sesungguhnya di negeri ini. Dan pasti semua akan serba terbatas, tidak senyaman dan serba ada seperti di institusi kita, tapi dengan keterbatasan itulah kita dipacu untuk memakai ilmu yang ada.
Begitu katanya. Dan nyata sekarang terbukti kata-kata itu. Saya mencoba lagi menghubungi satu rumah sakit besar, berharap dengan kebesarannya, ada satu saja tempat untuk bayi ini. Kebetulan telepon bisa tersambung dengan dokter anak -yang sepertinya- konsultan NICU nya.
Dokter Anak: “Maaf, rumah sakit kami juga penuh untuk bayi yang butuh CPAP.”
Saya: “Hmm..baik Dok, maaf Dok kalau boleh minta saran, kira-kira apalagi yang saya bisa lakukan sambil menunggu dapat rujukan ya Dok?”
Dokter Anak: “Coba saja akses intraosseous infussion (IO). Kami beberapa kali bisa koq untuk menyelamatkan bayi.” kata sang Dokter.
Keterangan:
Intraosseous infussion (IO) adalah sebuah cara memberikan cairan dengan memasukan jarum ke tulang muda di kaki yang bisa memberi akses ke sistem vaskular dengan cepat.
Glek! Saya cuma bisa menelan ludah. Dulu, pernah saya melakukan IO selama masa pendidikan. Tapi itu kepada anak-anak. Bagaimana dengan bayi? Belum pernah! Jadi semakin ngeri saya. Apalagi usianya baru 5 hari. Karena rumah sakit pendidikan kami dulu sangat besar dan serba lengkap, rasanya belum pernah ada kasus gagal akses pada bayi sehingga harus di IO.
Saya pun segera mencari literatur tentang IO pada neonatus. Efek sampingnya cukup mengerikan: bisa patah, nekrosis (infeksi berat hingga jaringan tulang membusuk), sindrom kompartemen. Bahkan resiko terburuknya ialah kehilangan kaki karena harus diamputasi. Makin lama (IO) terpasang makin tinggi pula resikonya. Apalagi kalau terpasang lebih dari 1 x 24 jam; bahkan 20 jam saja sudah sangat beresiko.
Tapi situasi telah semakin mendesak dan kami harus segera bertindak. Maka, kami pun menyampaikan kepada orang tua sang bayi tentang resiko dan manfaat dari tindakan pemasangan IO ini. Pilihannya hanya ada dua: nyawa atau kaki! Lebih baik begitu daripada memperparah keadaan.
Lalu saya pun mulai mencari pertolongan kepada teman-teman di grup WhatsApp yang selama ini selalu sharing dan membantu kalau ada kasus-kasus mulai dari yang sederhana sampai yang sulit.
“Gaes help…. Buat bayi 5 hari IO nya pake needle no berapa ya?”
Di tempat seperti ini, jangan berharap bisa melakukan IO macam di luar negeri menggunakan alat seperti bor canggih dengan segala kemewahannya. Tidak. Semua serba adanya. Dukungan pun datang dan teman-teman pun ikut menyemangati dan mendoakan secara virtual.
Setelah mendapat informasi demikian, sang Ayah bergumam,”Resiko patah kaki Dok?” Ia pun tampak tersentak, tapi kemudian ia hanya bisa pasrah. ”Demi nyawanya, lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya Dok…”
Bismillah… Tindakan IO pun dimulai. Jarum dimasukan ke tulang seperti nge-bor. Suara krek..krek terdengar, seseorang berteriak “Ouch..” Ngilu memang untuk yang baru pertama kali melihat dan mendengar. Tapi ini demi sebuah nyawa, wahai kawan. Dua kali menarik darah ditempat yang sama, darah keluar, tapi begitu infus dipasang, aliran seret dan macet. Saya coba sedikit tarik dan masuk ke dalam jarumnya, tapi tetap saja gagal. Hampir putus asa saya. Tapi sang bayi terdengar bereaksi dan menangis lemah, seakan bersuara meminta kepada saya agar tak berputus asa. “Oke adik bayi! Bismilah, kamu kuat, kita bisa ya”, ujar saya dalam hati.
Saya pun berkata kepada perawat bahwa kalau usaha terakhir ini gagal, tak ada cara lain selain merujuk (ke rumah sakit). Dengan bismilah, jarum kembali ditusukan. Kali ini ke tulang di bawah lutut -sedikit ke medial. Darah pun ditarik pelan-pelan dan akhirnya keluar. Infus pun kembali di pasang, semoga jalan ya. Dan berhasil! Setidaknya bayi ini tidak mengalami lagi syok dan perburukan. “Loading cairan 2 kali ya mba..selanjutnya antibiotik coba masukan pelan-pelan bangeet dan tetap cari rujukan, karena IO hanya bisa kita pertahankan 24 jam sampai besok pukul dua siang. Lalu mba, setelah pembuluh darahnya terisi, dicoba pasang infus lagi di tempat lain ya Mba,” kata saya pada perawat.
Saya pun pulang dengan separuh kelegaaan, karena setidaknya bayi ini hari ini masih tertolong. Adik-adik dokter magang yang berjaga dengan giat masih terus membantu mencari rujukan. Hingga pukul 11 malam, masuk lagi pesan ke ponsel saya:
”Dokter maaf mau melaporkan, kami sudah berusaha mencari rujukan di 3 kota besar, total 15 rumah sakit dengan yang tadi siang, tapi semua mengatakan penuh, pripun Njih Dok?”
Astaga… 15 rumah sakit semua penuh dan menolak? Gila! Saya kembali mengutuk sistem kesehatan di negara ini. Kali ini suami saya yang jadi korban kemarahan saya ini. Lalu dia menyarankan, coba hubungi teman kita, pak Rektor, mungkin bisa ada akses ke RS universitasnya. Alhamdulilahnya saya dikelilingi orang-orang baik, meskipun sudah tengah malam, beliau tetap membalas dan memberikan kontak dokter di RS tersebut. Meskipun, jawaban di pagi harinya menyatakan disana belum ada konsultan NICU dan tidak bisa menerima bayi itu. Tapi kebaikan hati mereka yang membantu itulah yang sungguh mengharu-birukan batin.
Esok paginya sudah mulai terdengar kabar baik. Sang bayi telah diminumkan cairan dan kali ini tidak muntah. Setelah saya periksa, bayi ini memang betul-betul membaik. Bahkan ketika tekanan CPAP diturunkan, ia pun sudah tidak sesak. Alhamdulilah… Namun bagaimana kalau sampai pukul 14 baik akses maupun rujukan belum dapat juga? Apa kabar kondisinya? Minum juga baru mulai sedikit.
Ibu Bidan: “Nanti coba kita panggil ada satu lagi Dok perawat yang jago banget menginfus, tapi dari kemarin dihubungi belum bisa,”
Saya: “Baiklah Bu..pokoknya kita coba segala cara ya Bu.”
Pagi berlalu dengan cepat: bimbingan dengan dokter internship, kunjungan pasien bangsal, lalu berlanjut ke poli anak. Sejenak saya melihat pesan di ponsel dari dokter internship, ”Dokter maaf mau melaporkan lagi, hingga pagi ini total sudah 20 rumah sakit di 3 kota besar dihubungi dan semua tetap mengatakan penuh dan menolak, pripun Njih?” Percuma mengutuk dalam diam, tetapi tetap tak ada yang peduli dan mendengar. Cuma bisa membatin saja saya.
Siang menjelang, poli sudah kelar, dan kegalauan kembali datang. Sebentar lagi 24 jam, IO harus dicabut, akses belum dapat, 20 rujukan semua penuh menolak. Haruskah saya menyaksikan bayi yang sudah mulai membaik itu mati pelan-pelan? Hanya karena tidak dapat akses vena dan rujukan? Serendah itukah harga sebuah nyawa?
Ketika curhat kepada seseorang, ia memberikan sebuah nasihat bijak,”Kita sudah mengupayakan yang terbaik. Namun semua kembali pada kehendak Yang Maha Kuasa.” Memang pedih rasanya mendengar perkataan itu. Kalau bayinya memang jelek, prognosis buruk ya okelah ya. Tapi ini bayi membaik dan harus mati pelan-pelan karena keterbatasan alat dan kerumitan prosedur serta regulasi di negara ini. Sungguh tidak rela rasanya!
Saya cuma bisa berdoa semoga ada keajaiban sambil kembali curhat di grup WA sambil meminta pertolongan. Benar kata pepatah. Sharing itu melegakan, dan diskusi dengan banyak kepala itu mencerahkan. Saya hanya bisa berterimakasih kepada teman-teman seperjuangan.
“Jangan kasih kendor Mba, jangan turunkan standar. Keep fighting, tetap semangat yaa…” Semasa pendidikan, kami memang diajarkan untuk tetap berjuang sampai titik darah penghabisan demi pasien, dan alhamdulillah kami masih saling mengingatkan.
“Gimana kalau cari akses umbilical (tali pusat), bisa Mba sampe 7 hari bahkan ada yang bilang 2 minggu, tapi resiko sepsis (infeksi berat) besar sih,” kata seorang kawan. “Kalau sudah mulai kering, kompres umbilicalnya pakai NaCl yang lama sampai letoy Mba..”, tambah seorang kawan lagi. “Coba cari akses di kepala Mba, kan pembuluh darah sudah terisi, semoga bisa. Tapi anaknya pake topi CPAP ya…hmm…gimana kalo coba pake oksigen nasal/hidung saja, jadi bisa cari akses di kepala, smoga anaknya tidak sesak, bisa cukup dengan oksigen hidung,” timpal lagi yang lain. Ide yang bagus.
Dan tak menunggu waktu lama bagi saya untuk dibanjiri pesan di WA:
Kawan D: “IO boleh sampe 48 jam bahkan 72 jam koq mba…kalo baca di literatur ini, asal paten aja, dan orangtua dijelaskan resiko sampai terburuk nekrosis dan amputasi sih…”
Kawan E: “Jelek-jeleknya, kasih minum naik cepat mba, drip lama biar ga muntah, kasih obat anti muntah, kasih antibiotik oral.”
Kawan F: “Jelek-jeleknya, rujuk ke RS swasta mba ke Jakarta kalo perlu. Karena dia ditolak pasti karena BPJS. Cari dana dari donatur banyak ko, bahkan bisa diganti ongkos pesawat merujuknya.”
Ternyata ada opsi lain yang melegakan dan saya pun mendapati network-network baru untuk donatur. Luar biasa bisa sampai sejauh itu rupanya daya upaya yang bisa dilakukan. Saya pun merangkum hasil diskusi dengan teman-teman. Hasilnya sungguh melegakan, dan ternyata selalu dibukakan jalan untuk niat baik.
Menjelang pukul 14, ketika waktu 1×24 jam untuk IO si bayi hampir selesai, saya kembali menengoknya, dengan plan A, B, dan C di kepala berdasarkan hasil diskusi dengan teman-teman. Terlihat pak perawat yang katanya paling jago serumah sakit dan HP nya ternyata mati baru bisa terhubung, sedang mencoba mencari akses ditemani suster yang jago juga.
Kami sudah tidak berharap lagi kepada RS rujukan, hanya berdoa dan berusaha dengan plan-plan yang ada. Dan bila infus ini berhasil, kami belum boleh bernapas lega karena posisinya riskan, dan menetesnya pelan. Semoga tidak bengkak lagi. Kalaupun plan A ini gagal, kami masih punya plan B: lepas CPAP, ganti oksigen di hidung dan infus di kepala. Kalo gagal juga, plan C (umbilical) dan seterusnya.
Akhirnya, pukul 14.00 tepat setelah 1×24 jam, karena terlihat bengkak, membayangkan kaki yang jadi menghitam dan harus diamputasi karena infeksi, jarum IO pun dicabut. Tak berani saya melanjutkan akses IO lebih dari 24 jam. Akses baru sudah terpasang biarpun menetes pelan dan berlangsung cukup lancar. Subhanallah…alhamdulillah… Saya pulang dengan penuh kelegaan. Never give up. Selalu ada keajaiban nyata dan kekuatan doa yang bekerja setelah usaha sekuat tenaga.
Hari perawatan ke 8, si bayi mulai bisa lepas dari CPAP tanpa sesak. Ia pun sudah bisa minum ASI dari dot tanpa harus via selang, meski belum banyak. Ibunya datang menggendong dan mencoba menetekkan bayinya. Bayi yang awalnya terkulai tak berdaya ini, sekarang bisa menatap dan menyentuh ibunya dengan binar mata polosnya. Menyaksikan detik-detik pelukan dan sentuhan pertama antara ibu dan bayi di dadanya ini sungguh membuat hati bergejolak. Sekali lagi, mengharukan-birukan batin.
Setelah total 11 hari perawatan, bayi ini pun pulang dengan sehat. Semoga tidak ada efek samping juga di kakinya bekas IO. Terlebih, semoga ia tumbuh dan berkembang dengan sehat dan sholehah. Terima kasih untuk pelajaran tentang harga sebuah nyawa darimu ya adik bayi. Kisahmu menunjukkan betapa masih banyak sekali orang baik di negeri ini.
Comments 2
Pengalaman yg mengharukan, sangat pantas di filmkan, saya siap jadi sutradaranya.
Hebat! Semangat juang yg tinggi yg psntas di tiru!