Nur Asma (33) duduk lesehan, di sebelah inkubator portabel. Di dalamnya, bayi perempuan dengan berat 1.050 gram sedang berlatih menghisap susu dari selang kecil yang ditaruh menggantung pada sisi bagian atas tabung.
“Lihat Hania, siapa yang datang. Buka matanya nak, Buk Ayie pergi lihat adek ni,” kata Nur Asma pada putrinya yang genap berusia dua bulan 14 Oktober mendatang.
Senin siang (5/10) lalu, Ratna Sary (Ayie), agen Relawan Inkubator Indonesia Cabang Aceh, berkunjung ke tempat Nur Asma dan bayinya menginap, usai keluar dari Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, Sabtu sore (3/10).
Hania Aisyah Humairah adalah pasien rujukan Rumah Sakit Umum Graha Bunda, Kabupaten Aceh Timur. Hania dirujuk ke Banda Aceh dengan diagnosa terjangkit hipotermia dan kurangnya daya hisap akibat bayi lahir prematur. Berat badan Hania saat dirujuk ke Banda Aceh, hanya 800 gram.
Lebih 15 hari, Hania di rawat di RSUDZA, hingga ia diperbolehkan pulang. Namun Nur Asma masih trauma, dan tak bisa membayangkan bagaimana nasib putrinya, bila keluar dari tabung berbentuk kotak itu. Sebab biasanya tubuh mungil bayinya akan biru, dan susah bernafas beberapa saat setelahnya.
Keluar masuk rumah sakit baik di Aceh Timur dan Banda Aceh, memberikan pemahaman pada Nur Asma. Hanya ada satu jalan keluar agar dia yakin putrinya aman saat mereka sudah diperbolehkan pulang. Mereka harus membawa serta inkubator ke rumah mereka. Tapi dia sadar, harganya pasti tidak murah.
Lewat seorang paramedis di ruang tempat Hania dirawat, dia mendapatkan informasi tentang inkubator portabel yang bisa dipinjam oleh keluarga pasien secara gratis. Saat itulah dia bertemu dengan Ratna Sary, pengurus Yayasan Blood for Life Foundation (BFLF) yang fokus menangani peminjaman inkubator portabel ciptaaan gurunya, saat kuliah di Teknik Mesin Universitas Indonesia.
Hari itu, Sary datang untuk melihat bagaimana kondisi Hania setelah dua hari keluar dari rumah sakit, dan berada dalam inkubator portabel hibah dari Yayasan Bayi Prematur Indonesia ciptaan Prof. Raldi Artono Koestoer. Sary ingin memastikan Nur Asma paham bagaimana cara kerja inkubator tersebut.
Mulai dari suhunya hingga lubang udara yang tidak boleh tertutup oleh benda apapun.
“Kalau teringat bagaimana warna tubuh Hania waktu dia dibawa pulang dari rumah sakit ke rumah kami di Aceh Timur, sedih sekali. Badannya langsung biru, sebentar di luar. Ketika saya larikan Hania tengah malam ke puskesmas terdekat, mereka tak punya inkubator. Sampai akhirnya saya harus sewa ambulan untuk bawa anak saya ke Rumah Sakit Graha Bunda. Cuma di sana yang punya inkubator,” kenang Nur Asma dengan air mata berlinang.
Ia menceritakan bahwa Hania lahir tepat empat hari setelah acara kenduri tujuh bulanan kehamilannya. Anak keempatnya itu lahir dengan berat kurang satu kilogram dan sehat. Sejak lahir, Hania sudah biasa keluar masuk rumah sakit di Aceh Timur. Meski belum yakin sepenuhnya tentang kebutuhan bayi kecilnya itu, tapi dia tahu, masalahnya hanya satu, anaknya tidak tahan dengan udara di luar tabung inkubator.
Dia mencari informasi di internet, apakah ada yang menjual inkubator. Dia yakin, harganya pasti tidak murah. “Saya coba cari di internet, apa ada yang meminjamkan atau menjual inkubator murah. Dengan kata kunci bayi prematur di youtube. Dan saya melihat ada yang meminjamkan alat seperti kotak bayi itu. Tapi itu di Jawa. Dalam hati saya ngomong sendiri, andai di Aceh juga ada, dan saya bisa pinjam,” ujar Nur Asma mengulang ceritanya pada Sary.
Saat itu, Sary langsung mengeluarkan smartphone-nya, mencari sesuatu. Ternyata dia ingin memperlihatkan profil Profesor Raldi, yang diceritakan oleh Nur Asma. Si Ibu langsung menyahut, bahwa benar, laki-laki itu yang dilihatnya di youtobe. Seorang Profesor dari Universitas Indonesia yang terinspirasi membuat inkubator portabel gratis dari kakaknya, dokter spesialis anak, untuk memudahkan masyarakat kurang mampu di Indonesia.
Nur Asma berulang kali mengucapkan syukur, karena inkubator yang saat ini dipakai dan akan dipinjamkan oleh BFLF hingga berat badan Hania mencapai 2,4 kilogram, adalah ciptaan dari laki-laki yang dilihatnya di internet.
“Saya berharap, inkubator seperti ini juga ada di Puskesmas. Supaya ibu-ibu seperti saya, tidak perlu khawatir lagi dengan kondisi anak kami,” harap Nur Asma.
Kunjungan itu diakhiri dengan edukasi dari Ratna Sary, bagaimana cara inkubator portabel itu aman bersama bayi dalam perjalanan selama delapan jam, dari Banda Aceh menuju Aceh Timur.
Saat ini, lebih dari 10 bayi prematur yang selamat yang telah menggunakan inkubator portabel gratis dari Yayasan Bayi Prematur Indonesia. Ratna Sary mengatakan, ada tiga inkubator di Kantor BFLF pusat, yang bisa dipinjam gratis oleh masyarakat Aceh yang membutuhkan.
Sary berharap, akan lebih banyak lagi ibu dan bayi prematur di Aceh yang dapat mengakses inkubator portabel gratis ini. [] Desi Badrina