Dari daya yang dimilikinya, anak-anak lebih lemah di banding orang dewasa. Diantaranya, bayi lah yang paling lemah. Dan yang paling tak berdaya dari bayi-bayi itu adalah bayi prematur: tidak punya energi dan jaringannya belum terbentuk secara matang. Inilah insan yang kami tolong setiap harinya. Mereka berada di ujung harapan. Menggigil saja tidak mampu, apalagi menangis. Sudah begitu biaya rumah sakit terus membengkak. Dan ruang NICU pun sangat kurang. Hanya ketidakpastian yang menanti. Maka, kami hidupkan kembali harapannya, kami berikan pelayanan terbaik. Caranya sederhana: meminjamkan inkubator. Ya. Dengan semangat berbagi gratis.
Percepatan
Hingga hari ini, kami sudah ada di 45 kota / kabupaten Indonesia, dan sudah lebih 1500 bayi prematur -juga bayi kuning- telah tertolong. Tetapi semua itu masih belum cukup. Perlu percepatan agar bisa menjangkau seluruh bayi Nusantara. Lantas bagaimana mengupayakannya? Bergotong-royong, kami bersama para agen relawan berkomitmen membuat inkubator terus terpakai tidak terbengkalai. Hal demikian semakin menuntut kami agar proaktif mencari keluarga bayi yang memerlukan pertolongan -terutama mereka yang belum tersejahterakan. Bahkan kalau bisa menambah jumlah inkubator. Ambil contoh saja agen relawan kami di Jawa Tengah. Transportasi dan alat sudah memadai. Relawannya selalu siaga pula. Lengkap sudah.
Kami juga melibatkan berbagai lembaga, komunitas, dan yayasan yang bergerak di bidang kesehatan. Dari situ, kami dapati bayi-bayi yang memerlukan kehangatan. Tak hanya itu, bidan dan rumah sakit pun kami libatkan. Seperti Blood For Life Foundation (BFLF) Aceh dan “Zona Bombong” Purwokerto dengan program ambulans gratisnya. Lalu adanya ketulusan dari Rumah Bersalin Cuma-Cuma (RBC) Bandung dan Yayasan Metta Mama & Magha Bali. Serta bergeraknya Rumah Sakit Ar-Rahmah Tangerang yang menggratiskan semua biaya berobat; kasirnya saja tidak ada di sana.
Dan beberapa waktu lalu kolaborasi rumah sakit antar daerah: RS Wahidin Sudiro Husodo (Mojokerto) dan RS Ben Mari (Malang). Membuahkan hasil dengan terselamatkannya delapan bayi prematur. Kolaborasi serupa juga sangat memungkinkan terjadi antara rumah sakit bersalin (RSB) dan rumah sakit ibu & anak (RSIA). Bahkan agen relawan kami di Bogor sampai mendatangi bidan dan rumah sakit. Nyata hasilnya, sudah 10 rumah sakit dan sejumlah bidan turut bekerja sama. Inilah pemberdayaan masyarakat. Bahu membahu satu dengan yang lain.
Promosi lapangan dan via digital juga gencar kami lakukan. Disinilah pentingnya peran tim publikasi dan cyber professional. Kami bangun website kami sendiri dan membuatnya supaya mudah di Googling orang dengan kata kunci “inkubator gratis” (www.inkubator-gratis.org). Cara menampilkan informasi dibuat dengan bernas dan menarik, sehingga mudah dipahami. Ditambah berbagai media pendukung: brosur, poster, flyer, dan sebagainya. Dan yang paling berdampai sebenarnya cerita mouth to mouth dari orang tua bayi prematur; apalagi bila sudah saling mengenal dan sering berinteraksi. Tak lupa kerelaan UKM di Depok dan Yogyakarta (kayu & akrilik) yang telah bermitra dengan kami selama bertahun-tahun. Tidak hanya memberdayakan usaha itu sendiri, tapi lebih dari itu: menggugah jiwa kewirausahaannya.
Berempati
Akhir Januari lalu, kami semua dipertemukan, saling dengar pendapat di Yogyakarta. Dari situ, kami banyak berdialog, belajar dari beragam cerita para agen relawan serta UKM menjalankan perannya. Makin memahami kami bahwa ini adalah sebuah tugas mulia yang memperjuangkan kesamaan hak akan akses kesehatan menyeluruh. Sudah banyak kisah yang kami alami: dari yang getir, janggal, hingga mengharu-birukan batin.
Sebagian juga membawa keunikan tersendiri. Agen relawan kami di Jonggol misalnya. Ketika datang mengantarkan inkubator ke Kampung Jeprah, bukan hanya keluarga bayi saja yang menunggu. Rupanya tetangga dan kerabat pun ikut hadir. Begitu terasa suasana guyub disana: saling memperhatikan satu dengan yang lain.
Juga kelahiran langka di Desa Mlaten, Mojokerto. Sewaktu agen relawan kami di Surabaya datang mengantarkan inkubator ke sana, sang ibu bercerita bahwa ia tak merasakan tanda-tanda kehamilan sebelumnya. Jadi selama itu ia hanya mengeluhkan sakit perut saja. Sudah berulang kali periksa ke puskesmas, tapi tetap tidak terdeteksi. Lebih, proses kelahiran juga lain dari ibu hamil pada umumnya. Sewaktu ke kamar mandi, tiba-tiba ia merasa mual berat. Saat itulah bayinya juga lahir. Sehat, bersih tanpa darah. Dan kini semakin membaik kondisinya setelah memakai inkubator kami.
Ada pula yang menyentuh rasa kemanusiaan. Di Sragen, empat bulan lalu, ketika dua agen relawan kami datang ke rumah keluarga bayi mengganti inkubator, ternyata ada kisah memilukan di baliknya. Barulah mereka mengetahui bahwa sang bayi ditelantarkan ibu kandungnya lantaran terus di desak keluarga. Tergeraklah hati keluarga ini untuk menyelamatkannya, merawatnya, dan menjaganya. Lalu ayah bayi (dari Tangerang) yang meminjam ke markas utama kami di kampus UI November lalu. Datang dengan rasa tertekan harus mengeluarkan Rp 4 juta setiap harinya untuk biaya NICU. Ditambah kondisi yang membuat kami tercengang: organ tubuhnya tidak lengkap. Terlebih rasa syukurnya. “Sampai saya menangis bahagia.” Begitu membekas kata-katanya dalam benak kami.
Demikian cara kami mengangkat empati sosial. Menolong bayi berarti menyelamatkan keluarganya, dan juga sebangsa. Tak terbayangkan bagaimana perjuangan keluarga yang harus merawat bayinya sambil mencari nafkah. Tak terbayangkan pula perjalanan dua agen relawan kami menempuh 800 km mengantar dan mengambil kembali inkubator: satu Surabaya-Madura, lainnya Jember-Banyuwangi. Dan masih banyak lagi. Jadi harus terus mencari akal menolong keluarga tak berpunya. Itulah rasanya berempati, membangun sinergi dan kebersamaan. Tujuannya cuma satu: demi bayi Indonesia sehat.
Melangkah
Kala kebanyakan kita masih bertengkar dan berlarut dalam kesusahan, sebagian sudah selesai dengan dirinya. Mereka bahkan telah melangkah: hidup membantu memajukan kesejahteraan bersama. Mereka sudah tidak sibuk lagi dengan diri dan tak menginginkan penjelasan tentang eksistensi dirinya. Seperti agen relawan kami di Yogyakarta. Ia barengi kegiatan amal dalam usahanya. Rupanya, setiap Jumat ia menggartiskan bubur di semua outlet yang ia miliki. Itu pun gara-gara terbawa semangat berbagi gratis kami.
Dan masih teringat jelas ucapannya, “Terkadang definisi kita tentang pekerjaan salah. Dan definisi pekerjaan bukan dari definisi manusia.” Sekarang tinggallah kita menilik ulang apa yang telah kita berikan untuk sesama, bangsa dan negara. Itu sebabnya kami ingin menularkan keberanian melangkah tadi. Dampaknya akan sangat luar biasa untuk kita semua. From misery to happiness. Ya. Mengubah kesulitan menjadi kebahagiaan.
Juan Karnadi
Digital dan Publikasi
Yayasan Bayi Prematur Indonesia