12 Juli 2017. Setelah 24 jam sudah terasa tanda-tanda akan melahirkan dengan mulai banyaknya flek yang keluar, akhirnya aku melahirkan bayi laki-laki lucu seberat 3.9 kg, bernama Bagas Bramahasesa Simamora, pada jam 06.40 WIB.
Persalinan kali ini adalah dari kehamilan keempat, dan kami berupaya melalui media waterbirth yang telah dipersiapkan di rumah, lama sejak mengetahui aku berbadan dua. Untuk ketiga kalinya, aku menangkap bayiku di dalam air ketika dia keluar dari rahim, tapi kali ini sungguh membuatku agak terkejut. Dalam beberapa detik momen ketika kutangkap, ada perasaan aneh saat memegang lengannya walau masih di dalam air, begitu pula dengan lehernya yang langsung terkulai saat aku berusaha mengangkatnya ke dadaku untuk diselimuti. Dia begitu rapuh, lemah, dan tak berotot.
Ya Allah, what is this?
Perasaan cemasku segera berganti kebahagiaan, saat melihat respon kakaknya yang tiba-tiba bangun tidur karena mendengar jeritan tangis dan menemukan adiknya baru lahir sudah berada di pelukan ibu, di dalam kolam yang masih hangat airnya. Kami menunggu kelahiran plasenta sesaat, sebelum akhirnya bangun menuju tempat tidur untuk sesi penjahitan dan IMD. Lagi-lagi aku merasa ada yang aneh, ketika menyerahkan bayiku dan plasentanya kepada bidan dan doula yang mendampingi selama persalinan, karena cepatnya leher bayiku yang terkulai bagaikan tak ada otot yang menopang atau floppy. Begitu pula dengan otot bahu pada lengan-lengan tangannya, seperti tak berdaya untuk mencengkeram genggaman tanganku, seperti bayi baru lahir pada umumnya. Ya, aku sebelumnya sering melihat bayi yang baru dilahirkan ibu mereka, karena mendampingi dalam persalinan, jadi cukup hapal bagaimana rasanya otot bayi dalam genggaman kita merespon.
Aku hanya membatin, dan belum ada keberanian bertanya kepada siapapun, karena sekelilingku masih begitu bahagia menyambut Bram lahir ke dunia. Akhirnya sambil menyusui aku sering membuka internet, penasaran mencari tahu apa nama kondisi bayi yang ototnya cenderung lemah terkulai. Aku menemukannya! Hipotonia namanya, dan tertegun karena penyebab hipotonia sangat banyak, bisa karena infeksi virus atau bakteri, bisa karena kelainan kromosom, bisa karena cedera tulang belakang, bisa karena kekurangan nutrisi dalam kandungan, dan lain-lain. Aku mulai mengatur nafas yang mulai tak beraturan, mempersiapkan mental untuk kemungkinan terburuk. Menatap mata bayiku dalam pelukan sambil menyusuinya, berharap semua baik-baik saja.
Bram
Terkadang aku merasa hidup ini tidak adil, apalagi ketika merasakan mempunyai bayi yang dalam tujuh hari sesudah dilahirkan, meninggal tanpa kuketahui penyebab pasti, hanya diagnosa dokter katanya jantung bawaan. Saat itu kumeratapi Allah yang begitu kejam merenggut bayi cantikku, yang kurawat seksama dengan air susuku sendiri. Sementara banyak kulihat bayi-bayi di jalanan yang harus mengalami kehidupan keras walau baru beberapa hari dilahirkan, dan mereka baik-baik saja, sehat sampai bisa berlari dan dewasa. Sungguh tidak adil, apalagi ketika aku mengalami kehilangan lagi kedua kali, saat keguguran di kehamilan ketiga. Tapi ketika mengingat kembali masa-masa menyedihkan itu, rasanya aku menjadi semakin kuat saat mengalami pergolakan batin mencari tahu kondisi bayiku yang keempat ini. Mungkin ini hikmah dari Allah dalam memberiku banyak pelajaran sebelumnya, bahwa aku harus lebih kuat untuk Bram. Untuk mendampinginya kelak hingga mandiri.
Aku meneruskan penelitian pribadiku tentang kondisi Bram, setiap ada kesempatan membuka internet. Tidak mudah sebenarnya, karena kondisi fisikku juga lumayan parah, karena setiap kali sehabis bersalin penyakit lamaku kambuh, yaitu HNP. Aku harus menjalani fisioterapi selama 5 bulan lebih di rumah sakit, juga berenang rutin, sebelum bisa mulai kuat fisiknya untuk menggendong Bram. Itupun tidak bisa lama-lama, harus secepatnya gantian dengan suami. Itu sebabnya aku belum dapat menindaklanjuti pencarian tahu penyakit Bram, karena sulit bagiku membawa Bram ke rumah sakit untuk mengecek kondisinya. Kenapa tidak mengajak suami? Aku selalu mengajak, tapi saat itu beliau belum dapat menerima kenyataan bahwa ada masalah serius dengan kesehatan Bram. Karena penampilan fisik Bram tidak menunjukkan kalau dia sakit, bahkan ciri Down Syndrome-pun hampir tidak ada kecuali “sandal gap”, semua baik kecuali perkembangan motoriknya.
Aku dan BosBram
Padahal aku sebagai ibu yang merasakan semua hal, karena setiap hari menyentuhnya, mendekapnya, menyusuinya dengan penuh rasa. Jadi ketika kujelaskan semua perkiraanku bahwa ada yang tidak beres dengan Bram, dan kita harus secepatnya membawa Bram untuk perika ke dokter agar tidak terlambat menangani jika ada permasalahan serius, suami menolak. Ini sangat menghancurkan mentalku, aku takut depresiku kumat, tapi sekali lagi aku sudah bertekad untuk mengabaikan semua hal menyakitkan demi merawat Bram. Jadi sambil mencari tahu tentang kondisi Bram, aku juga berkonsultasi dengan psikolog untuk kesehatan mentalku. Aku juga terus berusaha meyakinkan suami, hingga usia Bram 9 bulan belum kunjung dibawa periksa ke dokter.
Alhamdulillah fisikku makin kuat, jadi akhirnya aku membawa Bram sendiri ke rumah sakit, bertemu dokter anak, yang mendiagnosa beberapa perkiraan untuk kasus Bram, diantaranya Down Syndrome. Oke, aku tidak terkejut karena sudah banyak membaca tentang hipotonia dan salah satu penyebabnya, yaitu Down Syndrome. Aku harus mengurus surat-surat rujukan ke beberapa dokter spesialis, serta pengecekan hormon tiroid dan tes kromosom untuk menguatkan diagnosa dokter. Dan aku mulai mengikuti semua akun di media sosial, juga komunitas yang berhubungan dengan Down Syndrome, salah satunya POTADS, Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome. Aku ingin menjelajahi pengetahuan dan segala kemungkinan, bila Bram dinyatakan positif Down Syndrome. Aku harus kuat.
Perjuangan Merawat BosBram
Lalu terjadilah hal mengerikan, saat hari dimana seharusnya kami pertama kali mendapat jadwal ke salah satu dokter spesialis rujukan. Bram jatuh dari tempat tidur sesaat sebelum kami berangkat ke rumah sakit. 3 Mei 2018, aku ingat sekali hari bersejarah itu, dimana aku tersedu sambil menyusui Bram yang menangis karena jatuh, mendapati ternyata kepala Bram “penyok” akibat jatuh. Aku merasa sangat menderita, bersalah, dan segala rasa campur aduk lain, berdosa sangat rasanya membuat anakku menderita. Penyesalan terdalam yang tak dapat kutukar dengan apapun ketika terpuruk. Aku berharap berganti posisi saja dengan Bram, biar aku yang merasakan semua deritanya.
Aku langsung membawa 2 anak pontang-panting menuju IGD, sambil mengabari suami yang sedang berada di kantornya di Karawang. Alhamdulillah ada tetangga yang mengantar kami, jadi aku leluasa mengurus administrasi di rumah sakit. Hasil rontgen menunjukkan ada retakan pada posisi tulang kepala yang “penyok”, dan dokter menyarankan kami untuk segera menuju rumah sakit yang lebih besar untuk CT Scan. Kembali aku harus membawa 2 anak ke IGD rumah sakit yang berada di Jakarta Selatan, karena rumah sakit di Depok belum menerima rujukan dokter bedah syaraf untuk bayi, katanya. Sepanjang jalan aku hanya bisa berdoa, sementara Bram tertidur dalam pelukanku dengan kepala yang selalu kuelus, merasa sangat bersalah. Tapi aku harus kuat.
BosBram Jatuh
Hasil CT Scan yang segera dilakukan sesaat setelah Bram tiba di rumah sakit, menunjukkan semua jaringan dalam kepala di sekitar tempurung yang “penyok”, baik dan bagus kondisinya. Ya Allah, alhamdulillah… aku tersungkur bersujud. Tapi dokter menyatakan bahwa harus dilakukan operasi untuk memperbaiki tempurung yang “penyok”, agar kemungkinan tempurung tumbuh ke dalam dan menghujam otak suatu saat, bisa diminimalisir. Ya Allah, aku kembali terpuruk, membayangkan bayi semungil ini dioperasi, diambil sepetak tempurung kepalanya, lalu dikembalikan semula dari bentuk yang “penyok” jadi bulat kembali.
Berdoa, berpikir dan berusaha mencari alternatif cara lain agar tidak dioperasi. Hanya itu yang bisa kulakukan selain berkonsultasi dengan beberapa dokter bedah syaraf yang kukenal, sebagai upaya mendapat opini lain. Sementara itu, Bram harus masuk ruang rawat inap untuk observasi kondisinya sebelum hari H operasi tiba.
Melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya kami menolak operasi, ketika dokter mengajukan pertanyaan kapan kami bisa menandatangani beberapa formulir persiapan operasi. Sungguh pilihan yang sangat berat, tapi kami harus kuat. Dan alhamdulillah, justru karena kejadian ini hubunganku dengan suami, dalam masalah perkembangan kesehatan Bram membaik. Suami makin dapat diajak kerjasama dan bertukar pikiran, kemungkinan melanjutkan pemeriksaan Bram untuk diagnosa Down Syndrome-nya. Selalu ada hikmah.
Hubunganku dengan Suami Membaik
Langkahku semakin ringan dalam membawa Bram berkonsultasi, terapi, dan juga pengujian di laboratorium untuk beberapa diagnosa, karena hubunganku dengan suami membaik. Dan hasil tes kromosom menunjukkan Bram positif Down Syndrome. Tes jantungnya juga menunjukkan hasil seperti umumnya anak Down Syndrome lain, ada celah yang harus terus dipantau perkembangannya, karena kalau tidak ada kemajuan berarti, harus operasi. Alhamdulillah, jadi semakin pasti dan mantap dalam merencanakan terapi dan lain-lain untuk stimulasi Bram. Sementara itu, kami juga teratur berkonsultasi dengan dokter bedah syaraf untuk memantau perkembangan kepala Bram yang makin membaik. Alhamdulillah.
Sementara itu, aku langsung positif mendaftar dalam komunitas Potads, sejak hari menerima hasil tes kromosom. Banyak sekali pengalaman para orang tua dengan ADS masing-masing, yang aku serap dan pelajari. Bagaimana kita harus siap menghadapi lambatnya perkembangan motorik anak-anak DS termasuk harus rajin menstimulasinya, bagaimana kita harus sabar menghadapi lingkungan yang keras terhadap anak berkebutuhan khusus, bagaimana menghadapi masa tantrum anak berkebutuhan khusus, dan mempersiapkan berbagai ilmu lain melalui seminar-seminar. Termasuk saling memeluk ketika salah satu dari kami harus ikhlas melepas buah hati untuk selamanya. Ya, anak dengan Down Syndrome umumnya terlahir dengan kondisi otot seluruh tubuh yang lemah, termasuk otot jantung dan pernafasan, jika salah satu organ vital tersebut terkena masalah besar, maka rentan sekali mereka untuk drop dan seterusnya. Kami harus kuat.
Tes dan Seminar
Salah satu masalah yang juga umum terjadi pada anak dengan Down Syndrome, adalah rentannya imunitas tubuh. Jadi walau sudah mempersiapkan maksimal dengan berbagai suplemen, kadang kami harus menerima kenyataan beberapa kali kondisi Bram drop, dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk rawat inap beberapa hari sampai beberapa minggu. Kami bergantian jaga tentunya, dan ketika giliran suami berjaga di rumah sakit, dokternya Bram rupanya menyarankan suami untuk bergabung ke Potads untuk menggali ilmu lebih banyak lagi tentang Down Syndrome. Saat kami berdua berpapasan dengan dokter tersebut, suami ditanya:
“Bagaimana pak, sudah gabung Potads?”
“Oh eh, sebentar dokter”
*sambil menoleh ke arahku yang baru datang dan menegurku*
“Ini buk, dokter bilang kita baiknya gabung ke Potads, itu loh komunitas orangtua anak Down Syndrome”
Aku mengernyitkan kening,
Loh, bapak ki piye, itu kalo aku pamit seminar atau pertemuan tuh, ya kegiatannya Potads, artinya aku sudah gabung Potads
Dokter tertawa,
“Jyaaahahahaha bapaknya gimana ini, hahahaha”
Suami hanya nyengir dan garuk kepala jadinya.
Bram, adalah anugerah istimewa dari Allah untuk kami sekeluarga. Senyum dan tawanya yang hangat dan polos selalu membuat kami terlingkupi rasa cinta. Alhamdulillah.
I love you, baby Bram.
I love you so much.